Inti Dakwah Para Rasul

0

Bookmark and Share

 
PERTAMA : Kufur Kepada Thaghut

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah sebagaimana yang Dia Subhanahu Wa Ta'ala firmankan : “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut” (An Nahl :36)
 
Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran semua rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah ta'ala berfirman : “Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh (laa ilaaha ilallaah).” (Al Baqarah : 256)
 
Bila seseorang beribadah shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya tidak diterima.
 
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah :
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
2. Engkau meninggalkannya,
3. Engkau membencinya,
4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.
 
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala : “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya : “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”.(Al Mumtahanah : 4) Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :
 
I. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.
Ibadah adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaiman firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala : “Berdo’alah kepada-Ku, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak beribadah kepada-Ku, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan hina” (Al Mukmin : 60)
 
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda : “Do’a itu adalah ibadah”. Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah di antara bentuk pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut. Sembelihan adalah ibadah, dan bila dipalingkan kepada selain Allah maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : “Katakanlah, Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagi-Nya” (Al An’am : 162-163)
 
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)”. Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing pada saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut.

Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu : “Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka : “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami”. (Al An’am : 136).
Jadi orang yang menganggap perbuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut.
 
Wewenang (menentukan/membuat) hukum/undang-undang/aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepada-Nya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : “(Hak) hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah dien yang lurus” (Yusuf : 40)
 
Dalam ayat ini Allah memerintahkan menusia agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firman-Nya : “Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik” (Al An’am : 121)
 
Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya : “Hai Muhammad, ada kambing mati dipagi hari, siapakan yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab : “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata : “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tangan-Nya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” (HR. Hakim).
 
Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik, dan dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : “Mereka (orang-orang Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya (ahli ilmu) dan rahib-rahib (para pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (At Taubah : 31).
 
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis :
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
 
Di dalam atsar yang hasan dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat itu dihadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata : “Wahai Rasulullah, kami dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)”, maka Rasulullah berkata : “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikutikutan
menghalalkannya?, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata : “Ya, betul”, lalu Rasulullah berkata lagi : “Itulah bentuk peribadatan orang-orang Nashrani kepada mereka itu”. (HR. At Tirmidzi)
 
Jadi orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Sedangkan pada masa sekarang, orang meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang hukum kepada kedaulatan rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu belum muslim.
Allah ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan di atas : “Itu Dikarenakan Sesungguhnya Allah Adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil” (Luqman : 30). juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala : “Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil” (Al Hajj : 62)
 
II. Engkau meninggalkannya
Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai. Meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih ‘Maslahat Dakwah’ lalu ia masuk ke dalam sistem demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam rangka ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’ Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (Az Zukhruf : 26) juga firman-Nya tentang Ibrahim ‘alaihissalam : “Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah” (Maryam : 48)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan Laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih). Sedangkan orang yang tidak meninggalkan syirik, maka dia itu tidak diangap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Dan siapa yang bersyahadat Laa ilaaha ilallaah, namun disamping ibadah kepada Allah dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya” (Ad Durar As Saniyyah : 1/323, Cet. Minhajut Ta’sis : 61).
 
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata : “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya”. (Ad Durar As Saniyyah : 2/545). Beliau juga berkata : “Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid”. (Syarah Ashli Dienil Islam, Majmu’ah tauhid). Orang berbuat syirik, dia tidak merealisasikan firman-Nya : “Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepada-Nya”. (Al Bayyinah : 5). Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.
 
Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata: “Orang yang memalingkan sedikit dari ibadah itu kepada selain Allah maka dia itu musyrik, sama saja baik dia itu ahli ibadah atau orang fasiq, dan sama saja maksudnya itu baik atau buruk”. (Durar As Saniyyah : 9/270).
 
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad mengatakan : “Sesungguhnya pelafalan Laa ilaaha ilallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan syirik, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal itu (syahadat) tidak bermanfaat, atas ijma (para ulama)”. (Kitab Taisir). Syaikh Hamd Ibnu Atiq rahimahullah berkata : “Para ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah

musrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadur Rasulullah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim”. (Ibthal At Tandid : 76). Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya” Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.
 
III. Engkau Membencinya 
Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepada-Nya. Allah berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati”. (Az Zukhruf : 26). Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah” Kebencian terhadap syirik ini berbentuk realita, yaitu tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh : orang yang hadir di tempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya.
 
Allah ta'ala berfirman :
“Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan mereka”. (An Nisa : 140)
 
Jadi orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut.

Seandainya kalau tidak dapat mengingkari dengan lisannya maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan : “Saya ingkar dan benci dihati saja”, sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.
 
Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu 'anhu berijma atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah saat salah seorang di antara mereka mengatakan : “Saya menilai apa yang dikatakan Musailamah itu bisa jadi benar” dan yang lain hadir di mesjid itu tanpa mengingkari ucapannya seraya pergi darinya. (Riwayat para penyusun As Sunan / Ash habus Sunan). Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kufar, sistem kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.
 
IV. Engkau Mengkafirkan Pelakunya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyakayat, di antaranya :
“Dan orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan) : “kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allahmemutuskan di antara mereka dihari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan,sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir” (Az Zumar : 3)
 
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala : “Dan siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuatbuat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah di sisi Rabnya, sesungguhnya tidakberuntung orang-orang kafir itu” (Al Mukminun :117)
 
Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkanmereka berarti tidak membenarkan Allah. Dia Subhanahu Wa Ta'ala juga telahmemerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, di antaranya adalah firman-Nya : “Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan dari jalan- Nya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka”. (Az Zumar : 8)
 
Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam besabda : “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah” (HR. Muslim)
 
Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, “dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah” maksud kalimat tersebut adalah : Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati. (Durar As Saniyyah : 291). Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut.
 
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” (Risalah Nawaqidlul Islam). Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” (Syarh Ashli Dienil Islam - Majmu’ah Tauhid). Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata :
“Dan sebahagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik) dan jihad di atasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak tanpanya”. (Mishbahuzh Zhalam : 28).
 
Beliau berkata lagi : “Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orangorang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan) bersama-Nya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang yang tidak mengagungkan perintah-Nya, tidak meniti jalan-Nya dan tidak mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya pengagungan terhadap-Nya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya”. (Mishbahuzh Zhalam :29)]

Para imam dakwah Nejd berkata : “Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keIslaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik”. (Durar As Saniyyah : 9/291)
Mereka juga mengatakan : “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orangorang musyrik, dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, karena sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi mereka”. (Ad Durar As Saniyyah: 9/291).
 
Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ulama suu’ (ulama jahat) kakitangan thaghut dan kalangan Neo Murji’ah. Orang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah para rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.
 
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata : “Siapa yang mengatakan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk aqidah Khawarij maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan umat ini. Dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan madzhab Khawarij, dia telah mencampakan nash-nash Al Qur’an dan dia mengikuti selain jalan kaum muslimin”. (Mishbahudz Dzalam : 72).
 
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) di tegakan hujjah atasnya maka dia kafir juga.
 
Orang yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik dan justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Tidaklah sah shalat di belakang orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik secara mu’ayyan.
 
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim bahwa : ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran’, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum di belakangnya” (Ad Durar As Saniyyah : 10/53)

Ini adalah status minimal, adapun kebanyakannya adalah berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah : “Orangorang yang merasa keberatan dengan masalah takfir, bila engkau mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan munafikin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah bersama kami di Diriyah dan Uyainah yang mana mereka murtad dan benci akan dien ini”. (Ad Durar As Saniyyah : 10/92)
 
V. Engkau Memusuhi Mereka
Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepadathaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim as. Dan para nabi yang bersamanya : “Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah : 4)
 
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala :
“Kalian tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hariakhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (Al Mujadillah : 22)
 
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan :
“Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamannya walaupun ia mentauhidkan Allah danmeninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik” (Syarh SittatiMawadli Minas Sirah, Majmu’ah Tauhid : 21)
 
Permusuhan lainnya adalah loyalitas-loyalitas kepada orang kafir menafikan(meniadakan) keimanan/tauhid, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : “Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) di antara kalian, makasesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (Al Maidah : 51)

Karena permusuhan ini Allah ta’ala berfirman : “Maka bunuhilah orang-orang musyrik itu di manapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka di tempat pengintaian” (AtTaubah : 5)
Semua ini adalah cara kufur kepada thaghut…
Read More >>